Demokrasi

Demokrasi

Rabu, 09 Januari 2013

Sejarah Demokrasi

Sejarah Perkembangan Demokrasi Pada permulaan pertumbuhannya demokrasi telah mencakup beberapa azas dan nilai yang diwariskan kepadanya dari masa yang lampau, yaitu gagasan mengenai demokrasi dari kebudayaan Yunani Kuno dan gagasan mengenai kebebasan beragama yang dihasilkan oleh aliran Reformasi serta perang-perang agama. Sistim demokrasi yang terdapat di negara-kota (city state)Yunani Kuno (abad ke-6 sampai abad ke 3 SM ) merupakan demokrasi langsung (direct democracy) yaitu suatu bentuk pemerintahan di mana hak untuk membuat keputusan-keputusan politik dijalankan secara langsung oleh seluruh warga negara yang ber• tindak berdasarkan prosedur!mayoritas. Sifat langsung dari demokrasi Yunani dapat diselenggarakan secara efektif karena berlangsung dalam kondisi yang sederhana, wilayahnya terbatas (negara terdiri dari kota dan daerah sekitarnya) serta jumlah penduduk sedikit (300.000 penduduk dalam satu negara-kota). Lagi pula, ketentuan-ketentuan demokrasi hanya berlaku untuk warga negara yang resmi, yang hanya merupakan bagian kecil saja dari penduduk. Untuk mayoritas yang terdiri dari budak belian dan pedagang asing demokrasi tidak berlaku. Dalam negara modern demokrasi tidak lagi bersifat langsung, tetapi bersifat demokrasi berdasarkan perwakilan(representative democracy). Memasuki Abad Pertengahan (600-1400) gagasan demokrasi Yunani boleh dikatakan hilang dari muka dunia Barat. Masyarakat Abad Pertengahan dicirikan : 1.Struktur sosial yang feodal (hubungan antara vassal dan lord); yang 2.Kehidupan sosial serta spirituilnya dikuasai oleh Paus dan pejabat-pejabat agama lainnya; yang 3.Kehidupan politiknya ditandai oleh perebutan kekuasaan antara para bangsawan satu sama lain. Dilihat dari su¬dut perkembangan demokrasi Abad Pertengahan menghasilkan suatu dokumen yang penting, yaitu Magna Charta (Piagam Besar) (1215). Magna Charta merupakan semacam kontrak. an¬tara beberapa bangsawan dan Rlija. John dari Inggris di mana untuk pertama kali seorang raja yang berkuasa mengikatkan diri untuk mengakui dan menjamin beberapa hak dan privileges dari bawahannya sebagai imbalan untuk penyerahan dana bagi keperluan perang dan sebagainya. Biarpun piagam ini lahir dalam suasana feodal dan tidak berlaku untuk rakyat jelata, namun diang¬gap sebagai tonggak dalam perkembangan gagasan demokrasi. Sebelum Abad Pertengahan berakhir dan di Eropa Barat pada permulaan abad ke-16 muncul negara-negara nasional (national state) dalam bentuk yang modern, maka Eropa Barat mengalami beberapa perubahan sosial dan kultural yang mempersiapkan jalan untuk memasuki zaman yang lebih modern di mana akal dapat memerdekakan diri dari pembatasan-pembatasannya. Sesudah berakhirnya Abad Pertengahan antara 1500-1700 lahirlah negara-negara Monarchi. Raja-raja absolut menganggap dirinya berhak atas takhtanya berdasarkan konsep ”Hak Suci Raja” (Divine Right of Kings). Raja-raja yang terkenal di Spanyol ialah Isabella dan Ferdinand (1479- 1516). di Prancis raja-raja Bourbon dan sebagainya. Kecaman-kecaman diontarkan terhadap gagasan absolutisme mendapat dukungan kuat dari golongan menengah (midle class) yang mulai berpengauruh berkat majunya kedudukan ekonomi serta mutu pen-didikan. Pendobrakan terhadap kedudukan raja-raja absolut ini didasar suatu teori rasionalistis, yang umumnya dikenal sebagai social-contract (kontrak sosiaI). Salah satu azas dari gagasan kontral sosial ialah bahwa dunia dikuasai oleh hukum yang timbul (nature) yang mengandung prinsip-prinsip keadilan yang universal: artinya berlaku untuk semua waktu serta semua manusia, apakah dia raja, bangsawan atau rakyat jelata. Hukum ini dinamakan Natural Law (Hukum Alam, ius naturale). Unsur uni¬versalisme inilah yang diterapkan pada masalah-masalah politik. Teori kontrak sosial beranggapan bahwa hubungan antara raja dan rakyat didasari oleh suatu kontrak yang ketentuan-ketentu¬annya mengikat kedua belah fihak. Kontrak sosial menentukan di satu fihak bahwa raja diberi kekuasaan oleh rakyat untuk menyelenggarakan penertiban dan menciptakan suasana di mana rakyat dapat menikmati hak-hak alamnya (natural rights) dengan aman. Di fihak lain rakyat akan mentaati pemerintahan raja asal hak• hak alam itu terjamin. Pada hakekatnya teori-teori kontrak sosial merupakan usaha untuk mendobrak dasar dari pemerintahan absolut dan menetap¬kan hak-hak politik rakyat. Filsuf-filsuf yang mencetuskan gagasan . ini antara lain John Locke dari Inggris (I632-1704) da Montesquieu dari Perancis (1689-) 755). Menurut John Locke hak-hak politik mencakup hak atas hidup, atas kebebasan dan hak untuk memiliki (life, liberty and property). Montesquieu mencoba menyusun suatu sistim yang dapat menjamin hak-hak politik itu, yang kemudian dikenal dengan istilah trias politica. Idee-idee bahwa manusia mempunyai hak-hak politik menimbulkan revolusi Perancis pada akhir abad ke-18, serta Revolusi Amerika melawan Inggris. Sebagai akibat dari pergolakan yang tersebut di atas tadi maka pada akhir abad ke-19 gagasan mengenai demokrasi men¬dapat wujud yang konkrit sebagai program dan sistim politik. Demokrasi pada tahap ini semata-mata bersifat politis dan men¬dasarkan dirinya atas azas-azas kemerdekaan individu, kesamaan hak (equal rights) serta hak pilih untuk semua warganegara (univer¬sal suffrage) Dalam abad ke-19 dan permulaan abad ke-20 lahirlah gagasan mengenai demokrasi konstitusional. AhIi ¬hukum Eropa Barat Kontinental seperti Immanuel Kant (1724-1804) dan Friedrich Julius Stahl memakai istilah Rechtsstaat, sedangkan ahli Anglo Saxon seperti A.V. Dicey memakai istilah Rule of Law. Oleh Stahl disebut empat Unsur¬ Rechtsstaat (negara demokrasi yang berdasarkan hukum) dalam arti klasik, yaitu: 1) Adanya perlindungan hak-hak manusia 2) Adanya pemisahan atau pembagian kekuasaan untuk menjaminhak- hak itu 3) Pemerirttah berdasarkan peraturan-peraturan 4) Peradilan administrasi dalam perselisihan. Unsur-unsur Rule of Law dalam arti yang klasik, seperti yang dikemukakan oleh A.V. Dicey dalam Introduction to the Law of the Constitution mencakup: a. Supremasi aturan-aturann hukum (supremacy of the law); tidak adanya kekuasaan sewenang-wenang (absence of arbitrary power), dalam arti bahwa seseorang hanya boleh dihukum kalau melanggar hukum. b. Kedudukan yang sama dalam menghadapi hukum (equality before the law). Dalil ini berlaku baik untuk orang biasa, maupun untuk pejabat. c. Terjaminnya hak-hak manusia oleh undang-undang (di negara lain oleh undang-undang dasar) serta keputusan-keputusan pengadilan.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar